Kurikulum Baru vs Kurikulum Finlandia
Dalam pernyataannya di media baru -baru ini,Mendiknas mengatakan bahwa penambahan jam belajar pada kurikulum baru masih masuk akal dan dinilai tidak memberatkan siswa. Persoalannya durasi belajar di Indonesia masih terbilang singkat dibanding negara lain."Memang berdasarkan perbandingan dengan negara lain jam belajar di sekolah untuk Indonesia cukup singkat. Apalagi untuk anak usia 7 sampai 8 tahun. Dalam sehari kisarannya hanya sekitar 4 sampai 5 jam. Sebenarnya dengan Finlandia kita tidak jauh berebeda. Tapi dia menambahkan dengan tutorial. Jadi tiap anak atau beberapa anak diberi tutor untuk belajar di luar sekolah. Penambahan jam belajar ini juga mengikuti pola baru dalam kurikulum yang akan diberlakukan pada Juni 2013 nanti. Anak-anak akan diberi ruang seluas-luasnya untuk melakukan observasi dan memperdalam ilmu dengan mencari tahu melalui praktik ringan. Biasanya siswa diberitahu, sekarang siswanya didorong untuk mencari tahu. Ini tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dengan demikian untuk jenjang SD dengan konten 6 mata pelajaran, jam belajar akan ditambah sebanyak empat jam pelajaran per minggu. Untuk SMP dengan 10 mata pelajaran ditambah sebanyak 6 jam pelajaran per minggu,” demikian kata pak Nuh.
Dalam pernyataannya di media baru -baru ini,Mendiknas mengatakan bahwa penambahan jam belajar pada kurikulum baru masih masuk akal dan dinilai tidak memberatkan siswa. Persoalannya durasi belajar di Indonesia masih terbilang singkat dibanding negara lain."Memang berdasarkan perbandingan dengan negara lain jam belajar di sekolah untuk Indonesia cukup singkat. Apalagi untuk anak usia 7 sampai 8 tahun. Dalam sehari kisarannya hanya sekitar 4 sampai 5 jam. Sebenarnya dengan Finlandia kita tidak jauh berebeda. Tapi dia menambahkan dengan tutorial. Jadi tiap anak atau beberapa anak diberi tutor untuk belajar di luar sekolah. Penambahan jam belajar ini juga mengikuti pola baru dalam kurikulum yang akan diberlakukan pada Juni 2013 nanti. Anak-anak akan diberi ruang seluas-luasnya untuk melakukan observasi dan memperdalam ilmu dengan mencari tahu melalui praktik ringan. Biasanya siswa diberitahu, sekarang siswanya didorong untuk mencari tahu. Ini tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Dengan demikian untuk jenjang SD dengan konten 6 mata pelajaran, jam belajar akan ditambah sebanyak empat jam pelajaran per minggu. Untuk SMP dengan 10 mata pelajaran ditambah sebanyak 6 jam pelajaran per minggu,” demikian kata pak Nuh.
Sungguh
menarik pernyataan pak Menteri. Meskipun jarang mengeluarkan pernyataan yang
ramah dan enak didengar apalagi membuat kita tersenyum, tapi pernyataan beliau
di atas bisa membuat kita tertawa. Bagaimana tidak? Anak-anak kita disejajarkan
dengan anak-anak di Finlandia! Bagus si, demi kemajuan bangsa! Tapi pak Nuh mungkin
lupa. Kalau kita mau sehat kita memang harus minum obat, tetapi jangan lupa
sebelum minum obat harus makan dulu. Jadi sebelum menuntut sesuatu dari orang lain, penuhi
kewajiban kita dulu pada mereka.
Pak Nuh boleh-boleh saja menuntut
anak-anak selevel anak-anak Finlandia, tapi coba bandingkan pelayanan yang
diberikan menteri pendidikan Finlandia pada anak-anak di sana dengan pelayanan
yang diberikan Mendikbud kita pada anak-anak Indonesia. Mari kita lihat satu
per satu.
Kita mulai sejak anak keluar dari
rumah. Anak-anak di Finlandia keluar dari rumah langsung disambut oleh bis
sekolah yang aman dan nyaman, atau diantar pakai mobil pribadi yang mewah kalau
untuk ukuran orang Indonesia. Sekarang
kita lihat anak-anak Indonesia. Mereka keluar rumah langsung harus berhadapan
dengan maut. Baru-baru ini di TV kita bisa menyaksikan ada anak-anak yang harus
menyeberang sungai yang lebar dan ganas ketika berangkat dan pulang sekolah.
Bahkan mereka harus mencopot celana atau rok mereka. Menteri pendidikan Finlandia
pasti ngakak kalau melihatnya! Adalagi yang menyeberang jembatan yang cuma
tinggal talinya. Tak kalah, anak-anak lain juga selalu berhadapan dengan maut,
menyeberang jalan yang ramai, ada yang bergelantungan di angkot, ada yang naik
di atas angkudes, dan banyak yang jadi pembalap jalanan. Menteri pendidikan
Finlandia pasti geleng-geleng kepala melihatnya.
Ketika
tiba di sekolah, anak-anak Finlandia disambut oleh suasana yang nyaman, gedung
sekolah yang bagus. Anak Indonesia? Lagi-lagi harus berhadapan dengan maut,
berita gedung sekolah ambruk bukan hal aneh di negri nan indah ini. Gedung
sekolah yang disebut layak di sini, dianggap layak jugakah di Finlandia? Memang
ada sekolah yang gedungnya bagus di sini, tapi cuma untuk anak-anak yang
berduit.
Ketika
berada di dalam kelas, tak usah ditanyakan bagaimana suasana di kelas
Finlandia. Di sini? Riuh, satu orang guru menghadapi 40 anak. Mereka harus
berbagi buku paket, kalau ada. Atau harus membeli LKS yang sering dianggap
bermasalah. Plus harus menghadapi guru yang oleh Mendikbud juga dianggap
bermasalah karena jarang yang lulus UKA apalagi UKG. Tapi menteri pendidikan
Finlandia mungkin terheran-heran. Bagaimana mungkin guru-guru yang dicap tidak
bermutu semacam itu bisa menghasilkan kelulusan UN yang hampir 100% dan nilai
matematika banyak yang mencapai 10,00. Ditambah lagi guru-guru yang tidak
bermutu itu bisa mencetak menteri pendidikan yang sangat cerdas, dan menteri
dan pejabat-pejabat lain yang hebat-hebat, mencetak pengusaha-pengusaha tangguh
sehingga ekonomi Indonesia melesat menyaingi negara-negara maju. Atau mungkin
orang-orang hebat itu dulu sejak dari taman kanak-kanak tidak belajar di
Indonesia?
Tibalah
saatnya istirahat, tak usah ditanya lagi hidangan apa yang disajikan oleh
menteri pendidikan Finlandia. Anak-anak di negri nan kaya raya ini? Mereka
langsung menyerbu penjaja makanan kecil. Meskipun makanan kecil tapi plus, plus
bakteri, virus, boraks, pewarna tekstil, MSG, natrium benzoate, pemanis buatan
dan lain-lain tapi minus protein, vitamin, mineral dan serat.
Waktunya
pulang, anak-anak Indonesia pun berhamburan dengan riang karena merasa terbebas
dari segala himpitan. Sebagian mereka tak langsung pulang, berkeliaran, bertemu
anak sekolah lain. Iseng-iseng mereka pun tawuran.
Sumber :http://edukasi.kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar